"Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, ....". (QS. Asy-Syuaraa : 30) Musibah demi musibah datang silih berganti. Musibah yang terjadi di tengah-tengah kita, akhir-akhir ini, terjadi dalam "bentuk" yang berbeza. Pertama, kemalangan kenderaan dan sebagainya. Bentuk yang lain, adalah musibah alam, baik itu gempa bumi, banjir, tanah runtuh dan sebagainya. Kira-kira, manusia sekarang ini mengidentifikasi "musibah" sebagai [segala hal dahsyat, yang terjadi "di luar" kehendak manusia dan menyebabkan kematian dan kesengsaraan banyak manusia]. Pada saat terjadinya "musibah" itu, manusia baru merasakan keprihatinan yang mendalam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi kebanyakan menyerahkan kepada Yang Maha Esa. Sayangnya, "penyerahan" kepada Allah tersebut lebih kepada Su' udz-Dzan atau Negative Thinking kepada-Nya. Sebenarnya, makna "musibah" dalam kacamata Islam tidaklah sesederhana dari yang selama ini kita fahami. Kadangkala kita kena berfikir pemberian penghargaan, kenaikan pangkat, menjadi pemimpin itu pun sebuah "musibah". Biasanya, orang yang berpedoman demikian akan semakin tunduk kepada Allah Swt ketika mendapatkan penghargaan. Dari sinilah boleh difahami bahwa sudah sewajarnya jika Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa manusia yang paling sering mendapatkan musibah & cubaan berat adalah para nabi, kemudian para wali, dan seterusnya (H.R. Bukhori). Kerana musibah yang di-"uji-cuba"-kan kepada para nabi tersebut tentunya bukan saja berupa fisik, melainkan kekuatan mental dan keimanan. Perkembangan kehidupan materialistik telah mampu menyingkirkan pemahaman-pemahaman "unik" tentang musibah tadi. Akhirnya, manusia sekarang ini pun telah lebih jauh menyederhanakan makna dan "falsafah" atas pengertian "musibah". Manusia tidak lagi berfikir, sebenarnya, musibah tidak sesederhana "segala bencana yang di luar kehendak manusia". Akibatnya, sepertinya ada dua pilihan bagi kita : menerima sepenuhnya sebagai sebuah kecelakaan alam dgn hati yang murni, atau mengkaitkannya dengan kehendak Allah. Pilihan pertama sudah jelas, ia lebih banyak di-"imani" masyarakat Barat. Pilihan kedua adalah pilihan yang hingga kini masih dipegang umat Islam (hanya segelintir sahaja). Tetapi malangnya ramai umat islam masih memahami musibah mengikut acuan barat
***t Penulis melihat, ketika beberapa musibah menimpa kita akhir-akhir ini, banyak penulis dan penceramah yang menukil-nukil surat As-Syu'araa ayat 30 tanpa penjelasan yang memadai. Sebenarnya ini sangat berbahaya kerana dapat menimbulkan mis-understanding seperti yang selama ini terjadi dalam pemahaman Islam, khususnya yang berkenaan dengan Sifat Iraadah. Bagaimana pun, yang utama untuk diyakini oleh umat adalah bahwa Allah Swt tidak akan pernah berkehendak buruk kepada hamba-hamba-Nya. Ada banyak hal yang perlu kita resapi ketika menghadapi kenyataan yang, dalam pandangan kita nan pendek, pahit. Pertama, tidak semua kejadian tersebut "pahit" dalam arti yang sesuai dengan pemahaman kita. Seluruh manusia adalah milik Allah Swt, maka Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu, dengan berbagai jalan, baik itu bencana alam, kemalangan, atau di bom seperti yang sedang melanda masyarakat Iraq. Semua itu adalah bentuk "isyarat" Allah Swt terhadap kita. Bentuk isyarat yang diturunkan dalam bentuk yang berbagai2 sudah tidak penting bagi kita, atau bagi-Nya. kerana ini telah menjadi hukum alam. Walaupun segala bencana adalah rasional, namun Islam mensyariatkan kepada umatnya untuk ber-istirjaa', yaitu ketika mendapatkan musibah segera mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilayhi Raaji'uun, yang berarti "Sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt, dan hanya kepada-Nya-lah kami kembali". Ucapan ini memang terlihat sederhana, namun ia memiliki makna yang sangat mendalam, yakni mengingatkan kita untuk sentiasa ber-Tauhid, ber-Qadhaa dan ber-Qadar. Yang kedua, mengenai hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang ditetapkan (Qadhaa) oleh Allah Swt yang berkenaan dengan rumusan-rumusan dan teori-teori tentang alam. Hukum ini akan berlaku bagi siapa saja yang melanggarnya, baik itu kaum beragama maupun atheis, orang soleh ataupunpun durhaka, dan sebagainya. Dari hukum inilah seluruh aktiviti alam semesta berlangsung, dari yang terkecil-seperti adanya hukum bahwa air akan mendidih pada suhu 100 derjah celcius, siapapun yang memasaknya, baik atheis maupun beragama-, hingga yang peristiwa-peristiwa terbesar yang ada di jagat dunia. Itu semua merupakan Qadhaa-secara etimologis bererti hukum atau ketetapan. Dan ketika manusia telah merentasi proses Qadhaa itu maka dia akan mengalami apa yang sering disebut sebagai Qadar atau Takdir. Dengan demikian, Takdir adalah suatu hasil proses dari hukum dan ketetapan Allah Swt-yang berupa hukum alam-dengan realiti kehidupan yang dijalani manusia. *** Hukum alam yang diperlakukan oleh Allah Swt tersebut berbeza dengan hukum Aqidah atau Syariat yang diturunkan oleh-Nya. Hukum alam yang sedang kita hadapi sekarang adalah hukum yang hanya berlaku di dunia fana. Sedangkan hukum Aqidah & Syariat berlaku di dunia dan (untuk kepentingan) akhirat sekaligus. Dengan demikian, dalam hal tertentu, hukum alam tersebut sama sekali tak memiliki kaitan "erat" dengan hukum Aqidah & Syariat. ertinya, hukum alam akan menerkam siapa saja yang melanggarnya, baik beriman, fasik & kafir dan lainnya. Namun demikian, perlu diperhatikan, bahwasanya mangsa keganasan hukum alam tak semestiny adalah pelaku dari pelanggaran atas hukum alam tersebut. Bahkan juga boleh dikatakan bahwa proses yang terjadi dalam hukum tak mesti melibatkan manusia. Sebagai contoh adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar angkasa. Demikian pula sebalikya, hukum Aqidah & Syariat tak berkaitan langsung dengan kedatangan hukuman alam. Lalu, bagaimana dengan adanya hukuman alam yang terjadi pada umat-umat terdahulu, sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur'an? Allah Swt, dalam memberikan kenikmatan, ujian, cubaan atau siksaan tidaklah melampaui keupayaan kemanusiaan. Ertinya, jika Allah Swt menyatakan telah memberikan hukuman melalui hukum-hukum alam, maka hukuman alam itu diproses melalui pelanggaran hukum Aqidah & Syariah . Dari sinilah hukuman berlaku, dan secara hakikat ia bukanlah hukuman atas kedurhakaan kepada-Nya, kerana semua hukuman (Jazaa', Hisaab) atas kedurhakaan kepada-Nya telah di-setting pada Hari Pembalasan (Yawmul-Jazaa') atau Hari Penghitungan (Yawmul-Hisaab) dimana setiap manusia akan menghadapinya. wallah huallam. |
1 comments:
Salam bro;
Gua sudah sampai sini, mana jamuan untuk tetamu yang di undang nih.. hahaha... (gua dah link blog lu kat tempat gua)
"Sebab tu gua ada posting pasal ada hikmah di sebalik kejadian tanah runtuh tu" banyak sebabnya dan sebagai mana dlm entry lu ini.
Post a Comment